Menjelang akhir 2024, Google mengumumkan bahwa chip kuantum terbaru mereka, Willow, mampu menyelesaikan perhitungan super kompleks hanya dalam waktu 5 menit—pekerjaan yang membutuhkan waktu hingga 10 septiliun tahun bagi komputer super klasik. Klaim ini memicu perdebatan baru: apakah komputer kuantum bisa mengancam masa depan kripto? Bagaimana blockchain seperti Bitcoin harus beradaptasi menghadapi perubahan ini?
Seiring kemajuan teknologi kuantum yang berkembang pesat, kekhawatiran mengenai masa depan keamanan digital semakin menguat, terutama dalam sektor kripto yang bergantung sepenuhnya pada kekuatan enkripsi. Dunia kripto yang selama ini dianggap sebagai benteng transparansi dan desentralisasi bisa saja menghadapi ancaman besar dari komputer kuantum, sebuah teknologi eksperimental yang sedang dikejar oleh negara-negara maju dan perusahaan teknologi raksasa. Jika komputer kuantum mencapai kematangan, bukan hanya enkripsi tradisional seperti RSA dan ECDSA yang terancam, tetapi juga keamanan wallet Bitcoin non-kustodian. Ancaman ini tidak terjadi hari ini, tetapi bukan mustahil di masa depan, dan menjadi penting untuk dipahami secara menyeluruh sejak sekarang.
Apa Itu Komputer Kuantum?
Komputer kuantum adalah bentuk baru dari mesin komputasi yang tidak mengikuti prinsip logika biner seperti komputer klasik. Jika komputer konvensional menggunakan bit yang hanya bisa bernilai 0 atau 1, komputer kuantum menggunakan unit dasar bernama qubit, yang dapat berada dalam keadaan 0, 1, atau keduanya sekaligus berdasarkan sifat superposisi. Dengan komputasi yang berlangsung di tingkatan sub-atomik, ini juga terkait dengan sifat entanglement atau keterikatan kuantum yang memungkinkan dua qubit yang terpisah untuk saling terhubung, menciptakan sistem komputasi yang sangat berbeda dari apa yang kita kenal saat ini.
Secara teknikal, kelebihan terbesar komputer kuantum terletak pada kemampuannya menjalankan algoritma tertentu secara jauh lebih efisien dibanding komputer klasik. Salah satu algoritma yang paling terkenal adalah algoritma Shor, yang memungkinkan faktorisasi bilangan prima secara eksponensial lebih cepat dibanding metode klasik. Ini sangat relevan karena enkripsi modern, termasuk enkripsi yang digunakan dalam sistem blockchain, didasarkan pada kesulitan faktorisasi bilangan besar. Jika komputer kuantum dapat memecahkan tantangan ini dalam waktu yang jauh lebih singkat, maka sistem enkripsi yang selama ini dianggap aman bisa runtuh seketika.
Menurut laporan New Scientist, komputer kuantum merupakan perangkat yang memanfaatkan prinsip-prinsip fisika kuantum untuk menyimpan informasi dan menjalankan perhitungan. Teknologi ini sangat menjanjikan untuk menyelesaikan jenis-jenis persoalan tertentu yang tidak bisa diselesaikan secara efisien bahkan oleh komputer super tercanggih saat ini.
Berbeda dengan komputer konvensional, termasuk ponsel dan laptop, yang merepresentasikan data dalam bentuk bit biner (hanya bernilai 0 atau 1), komputer kuantum menggunakan unit dasar informasi yang disebut quantum bit atau qubit, demikian dijelaskan oleh media tersebut.

Perbandingan antara binary digit dengan qubit. Sumber: Rewire.ie.edu.
Secara sederhana, komputer kuantum bisa dipahami sebagai generasi baru dari teknologi komputasi, yang tidak lagi bergantung sepenuhnya pada sistem biner tradisional. Sebagai gantinya, komputer kuantum memanfaatkan qubit, yang memungkinkan proses perhitungan dilakukan di tingkat partikel subatomik, yakni jauh lebih kecil dari atom.
Dalam sistem qubit, data tidak hanya diproses dalam keadaan 0 atau 1 seperti pada sistem digital biasa, melainkan dapat berada dalam kondisi keduanya secara simultan, sebuah fenomena yang dikenal sebagai superposisi. Karena itulah, komputer kuantum mampu menangani perhitungan yang sangat kompleks dalam waktu yang jauh lebih singkat dibandingkan sistem komputasi klasik.
Untuk menggambarkan konsep superposisi, bayangkan sebuah koin. Dalam sistem biner biasa, koin hanya bisa menunjukkan sisi depan atau belakang. Tapi dalam dunia kuantum, qubit seperti koin yang sedang dilempar ke udara—berada dalam kombinasi unik dari kedua sisi hingga mendarat dan diukur.

Analogi satuan data qubit pada koin yang berputar. Sumber: Rewire.ie.edu.
Dengan demikian, meskipun hanya satu qubit, ia tidak terbatas pada satu nilai saja (0 atau 1). Dalam kondisi superposisi, qubit berada dalam perpaduan keduanya secara bersamaan hingga dilakukan pengukuran yang menentukan hasil akhirnya.
Analogi Komputer Kuantum
Untuk memahami bagaimana komputer kuantum bekerja dibanding komputer klasik, bayangkan Anda sedang mencari jalan keluar dari labirin raksasa. Komputer klasik seperti orang buta yang mencoba satu jalan setiap kali. Jika ada seribu jalan, maka ia harus mencobanya satu per satu. Komputer kuantum seperti kabut yang dapat menyebar ke seluruh jalan dalam waktu bersamaan. Dalam sekejap, ia dapat mengidentifikasi jalan mana yang menuju ke pintu keluar. Ini karena sifat superposisi membuat komputer kuantum dapat menjelajahi banyak kemungkinan secara paralel.
Namun keunggulan ini bukan tanpa batas. Komputer kuantum tidak menggantikan semua fungsi komputer klasik, melainkan hanya unggul pada masalah-masalah tertentu, seperti faktorisasi bilangan besar, simulasi molekul kompleks, dan pengoptimalan matematis. Dengan analogi ini, bisa dibayangkan seberapa besar dampaknya terhadap sektor keamanan digital. Jika kabut ini mampu menyebar ke seluruh celah enkripsi kriptografi, maka tidak ada lagi pintu yang benar-benar terkunci, termasuk wallet kripto yang selama ini dianggap tidak bisa dibobol tanpa private key.
Sejarah Singkat Komputer Kuantum
Gagasan tentang komputer kuantum pertama kali muncul dari pemikiran fisikawan Richard Feynman pada tahun 1981, yang menyadari bahwa sistem kuantum tidak dapat disimulasikan secara efisien oleh komputer klasik. Sejak saat itu, konsep komputer kuantum mulai menarik minat kalangan ilmuwan dan insinyur komputer. Pada tahun 1994, Peter Shor memperkenalkan algoritma yang membuat dunia keamanan informasi mulai merasa terancam, yaitu algoritma Shor yang secara teoritis mampu memecahkan enkripsi RSA hanya dalam hitungan jam jika dijalankan di komputer kuantum yang cukup besar.
Sejak dua dekade terakhir, perusahaan seperti IBM, Google, dan startup seperti Rigetti dan IonQ mulai berlomba membangun komputer kuantum praktis. Pencapaian penting terjadi pada tahun 2019 ketika Google mengklaim telah mencapai quantum supremacy, yaitu kemampuan komputer kuantum untuk menyelesaikan masalah tertentu yang tidak bisa diselesaikan oleh komputer super klasik dalam waktu wajar. Meski konteksnya masih terbatas pada masalah buatan yang tidak memiliki aplikasi praktis, pencapaian itu menunjukkan bahwa jalan menuju komputer kuantum berskala besar mungkin tidak sejauh yang dibayangkan sebelumnya. Kini, perusahaan dan institusi riset di seluruh dunia tengah mengembangkan sistem koreksi kesalahan kuantum dan arsitektur qubit yang lebih stabil, dengan tujuan menciptakan komputer kuantum yang dapat menjalankan algoritma kompleks secara penuh.
Bisakah Komputer Kuantum Membobol Wallet Bitcoin?
Industri kripto bertumpu pada kekuatan kriptografi untuk melindungi transaksi dan keamanan wallet digital. Wallet Bitcoin non-kustodian, seperti wallet hardware atau cold wallet, didasarkan pada private key dan public key yang saling terhubung melalui algoritma ECDSA (Elliptic Curve Digital Signature Algorithm). Private key tidak pernah disimpan di jaringan komputer lain, termasuk di blockchain Bitcoin sendiri dan hanya diketahui oleh pemiliknya. Dengan algoritma ini, hampir mustahil secara praktis untuk menebak private key dari public key menggunakan komputer klasik, karena prosesnya akan memakan waktu miliaran tahun.
Namun komputer kuantum dapat mengubah hal ini. Dalam teori, algoritma Shor dapat memecahkan ECDSA hanya dengan beberapa ribu qubit logis (logical qubits, kondisi ketika komputer kuantum dapat menyelesaikan perhitungan tanpa error).
Jika suatu saat komputer kuantum dengan kapasitas cukup besar dan stabil berhasil dikembangkan, maka public key yang selama ini aman bisa menjadi celah untuk mendapatkan private key. Artinya, wallet Bitcoin yang bersifat non-kustodian bisa dibobol secara paksa tanpa sepengetahuan pemiliknya, hanya dari informasi yang sudah tersedia di blockchain publik seperti Bitcoin.
Skenario ini sangat bergantung pada kapan komputer kuantum dengan koreksi kesalahan dapat dibangun. Beberapa peneliti memperkirakan butuh sekitar 3.000 hingga 20.000 qubit logis untuk memecahkan ECDSA 256-bit. Dengan koreksi kesalahan, jumlah qubit fisik yang dibutuhkan bisa mencapai jutaan. Bandingkan dengan chip Willow dari Google yang baru mencapai 105 physical qubits).
Komputer kuantum saat ini masih jauh dari angka itu, tapi laju kemajuan teknologinya terus meningkat. Jika prediksi optimistis terjadi, dunia bisa melihat komputer kuantum berskala besar dalam 15 hingga 25 tahun ke depan.
Saat komputer kuantum semacam itu tersedia, bukan hanya wallet individu yang terancam, tetapi juga struktur dasar keamanan blockchain itu sendiri. Sistem konsensus dan smart contract yang dirancang dengan asumsi bahwa kriptografi tidak bisa dibalik secara praktis akan menjadi rentan. Ini menimbulkan kebutuhan mendesak untuk memigrasi sistem blockchain ke algoritma yang tahan terhadap serangan kuantum, seperti lattice-based cryptography atau hash-based signatures.
Beberapa proyek blockchain baru mulai menyiapkan langkah menuju enkripsi pasca-kuantum. Namun Bitcoin sebagai sistem yang konservatif dan lambat dalam perubahan menghadapi tantangan besar. Untuk memperbarui sistem enkripsinya, Bitcoin harus mengalami hard fork dan menyetujui perubahan yang berdampak luas. Proses ini sangat sulit karena komunitas Bitcoin sangat menjaga stabilitas dan prinsip desentralisasi. Jika komunitas gagal beradaptasi sebelum ancaman kuantum menjadi nyata, maka sejarah bisa mencatat komputer kuantum sebagai akhir dari dominasi Bitcoin.
Era Quantum Proof dan Sistem Enkripsi Baru
Seiring berkembangnya kemampuan komputasi di masa depan, dibutuhkan sistem enkripsi yang jauh lebih kuat dibandingkan teknologi saat ini. Salah satu fokus utama adalah pengembangan sistem quantum-proof—yakni teknologi kriptografi yang tahan terhadap ancaman komputer kuantum. Hal ini menjadi penting karena jika teknologi kuantum jatuh ke tangan pihak yang tidak bertanggung jawab, dampaknya bisa sangat merugikan, mulai dari pembobolan data rahasia milik negara, pencurian aset kripto dari wallet digital, hingga berbagai bentuk serangan siber lainnya. Padahal, kemampuan komputasi kuantum sebetulnya bisa diarahkan ke hal-hal yang bermanfaat, seperti simulasi sistem cuaca, eksplorasi luar angkasa, hingga mendukung riset ilmiah tingkat lanjut.
Quantum-proof sendiri merujuk pada sistem atau teknik kriptografi yang dirancang agar tetap aman dari upaya pembobolan menggunakan komputer kuantum. Teknologi kuantum ini pada dasarnya bisa menjalankan algoritma-algoritma kuat seperti Shor dan Grover yang berpotensi mematahkan sistem enkripsi konvensional saat ini.
Untuk mengantisipasi hal tersebut, sejumlah skema enkripsi baru telah dikembangkan sebagai solusi quantum-proof. Salah satu inisiatif terdepan datang dari National Institute of Standards and Technology (NIST) di Amerika Serikat. Pada Agustus 2024, lembaga tersebut meresmikan tiga standar kriptografi baru yang telah dirancang khusus untuk menghadapi ancaman dari komputer kuantum. Standar-standar ini kini telah siap diterapkan dan diharapkan menjadi fondasi bagi perlindungan data di berbagai sektor di era mendatang.
Di sisi lain, semakin banyak Bitcoin Improvement Protocol (BIP) yang diajukan oleh sejumlah pengembang. Salah satunya yang terbaru adalah dari Agustin Cruz yang masih berupa draft pada Februari 2025 lalu.
Dengan judul “Quantum-Resistant Address Migration Protocol” (QRAMP), rancangan BIP ini mencakup kode awal dan instruksi untuk menghancurkan unspent transaction outputs (UTXO). BIP tersebut memuat kode untuk perubahan konsensus melalui hard fork yang akan mewajibkan migrasi UTXO yang rentan terhadap serangan kuantum.
Ringkasnya, meskipun komputer kuantum saat ini belum mencapai kapasitas yang dapat mengancam sistem enkripsi kripto, arah dan kecepatan perkembangan teknologinya menunjukkan bahwa kita tidak bisa menganggapnya sebagai ancaman fiksi ilmiah semata. Industri kripto yang dibangun atas dasar kepercayaan pada kekuatan matematika dan sistem terbuka kini harus mulai memikirkan masa depan dalam era pasca-kuantum. Tantangannya bukan hanya teknis, tetapi juga sosial dan politik: apakah komunitas global kripto siap untuk melakukan transformasi besar sebelum badai kuantum benar-benar datang? Masa depan industri ini sangat bergantung pada jawaban atas pertanyaan tersebut.