Beli Kripto
Market
Perdagangan
Futures
Finansial
Promosi
Selengkapnya
Pusat Hadiah
Masuk
Beranda Potensi Resesi AS dan Dampaknya terhadap Market Kripto
Pembaruan Industri

Potensi Resesi AS dan Dampaknya terhadap Market Kripto

2025-04-29 00:10:00

Ketidakpastian ekonomi global kembali menjadi perhatian utama setelah sejumlah lembaga dan tokoh ekonomi ternama memberikan peringatan akan datangnya resesi. Bagaimana ini bisa menjadi peluang dan tantangan ke market kripto?

Per April 2025, kemungkinan terjadinya resesi di Amerika Serikat meningkat secara signifikan, dengan perkiraan berada di kisaran 45 persen hingga 60 persen dalam 12 bulan ke depan. Risiko ini melonjak terutama akibat kebijakan tarif impor luas yang diberlakukan oleh Presiden Donald Trump, yang telah mengguncang perdagangan global dan market keuangan. 

CEO BlackRock, Larry Fink, bahkan mengatakan AS saat ini mungkin saja sudah dalam kondisi resesi.

Sementara itu, Goldman Sachs menaikkan estimasi peluang resesi menjadi 45 persen, menandai peningkatan kedua dalam satu minggu terakhir akibat ketegangan perdagangan yang terus memburuk. 

J.P. Morgan juga memperbarui proyeksinya, memperkirakan peluang resesi di Amerika Serikat dan secara global mencapai 60 persen, dengan alasan kekhawatiran atas menurunnya kepercayaan bisnis dan melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia. 

Presiden Federal Reserve Bank of New York, John Williams, menyampaikan bahwa perlambatan ekonomi mungkin terjadi, dengan prediksi peningkatan angka pengangguran dan inflasi yang berpotensi mencapai 4 persen. 

Sentimen konsumen pun menurun drastis, tercermin dari Indeks Universitas Michigan yang jatuh ke level terendah sejak pandemi COVID-19, menunjukkan kekhawatiran luas terkait potensi kehilangan pekerjaan dan lonjakan harga barang.

Meski demikian, beberapa institusi seperti UBS tetap optimis terhadap saham-saham AS, dengan menyebut bahwa volatilitas market saat ini dapat menjadi peluang investasi, asalkan ketegangan perdagangan dapat diselesaikan.

Apa Itu Resesi?

Lantas, apa sebenarnya resesi itu? Resesi adalah kondisi ketika perekonomian suatu negara mengalami penurunan aktivitas secara signifikan dalam jangka waktu tertentu, biasanya ditandai dengan menurunnya pertumbuhan ekonomi (PDB), meningkatnya pengangguran, turunnya daya beli masyarakat, dan lesunya sektor bisnis. Secara sederhana, resesi bisa diibaratkan seperti sebuah musim kemarau panjang dalam kehidupan ekonomi, di mana tanah (ekonomi) yang biasanya subur dan menghasilkan banyak panen (pendapatan dan lapangan kerja) tiba-tiba menjadi kering dan tandus, membuat para petani (pekerja dan pelaku usaha) kesulitan bertahan hidup.

Sebagai gambaran, bayangkan sebuah kota kecil yang biasanya ramai dengan toko, restoran, dan pabrik yang beroperasi setiap hari. Suatu hari, karena badai ekonomi, misalnya krisis keuangan global atau lonjakan harga bahan baku, konsumen mulai mengurangi belanja, perusahaan mengurangi produksi, dan pekerja mulai kehilangan pekerjaan. Toko-toko tutup satu per satu, jalanan menjadi sepi, dan warga mulai cemas karena penghasilan menurun. Inilah gambaran sederhana dari resesi: ekonomi yang biasanya bergerak cepat, tiba-tiba melambat bahkan nyaris berhenti.

Contoh nyata dari resesi adalah krisis keuangan global tahun 2008, ketika banyak negara mengalami kontraksi ekonomi akibat runtuhnya market perumahan di Amerika Serikat. Dampaknya menyebar ke seluruh dunia, menyebabkan jutaan orang kehilangan pekerjaan, harga rumah jatuh, dan banyak bisnis bangkrut. Di Indonesia sendiri, resesi terakhir terjadi pada tahun 2020 saat pandemi COVID-19 melanda. Aktivitas ekonomi nyaris terhenti karena pembatasan sosial, sektor pariwisata dan transportasi lumpuh, dan pertumbuhan ekonomi turun ke wilayah negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Sejarah menunjukkan bahwa pemangkasan suku bunga oleh The Fed sering kali menjadi pendahulu resesi atau krisis besar, seperti yang terjadi pada 2001 saat pecahnya dot-com bubble dan pada 2008 saat krisis keuangan global. Meskipun ada pengecualian seperti tahun 1995 yang berakhir dengan soft landing, pola umumnya tetap konsisten: rate cut bukanlah sinyal bullish yang pasti, melainkan respons terhadap perlambatan ekonomi yang sudah mulai terasa. Dengan dimulainya siklus pemangkasan pada 2023 dan belum adanya resesi terkonfirmasi, market kini berada dalam fase rawan, di mana sejarah memberi peringatan bahwa tantangan struktural bisa saja baru dimulai.

Sejak akhir Perang Dunia II, Amerika Serikat telah mengalami 12 kali resesi yang diakui secara resmi oleh National Bureau of Economic Research (NBER). Resesi pertama pasca-perang terjadi pada tahun 1948, diikuti oleh sejumlah perlambatan besar, termasuk resesi tahun 1973-75 yang dipicu oleh krisis minyak, dan resesi parah awal 1980-an yang dipicu oleh upaya memerangi inflasi tinggi melalui suku bunga ekstrem. Tahun 1990-an menyaksikan resesi singkat akibat restrukturisasi fiskal dan perang Teluk, lalu disusul krisis dot-com di awal 2000-an. Pukulan terbesar datang pada 2008, ketika sistem keuangan global nyaris runtuh akibat krisis kredit dan properti. Pandemi COVID-19 pada 2020 pun memicu resesi tercepat dalam sejarah modern, meski juga menjadi salah satu yang paling singkat. Dari pola-pola tersebut terlihat bahwa resesi di AS bukanlah anomali, melainkan bagian dari siklus ekonomi yang berulang, dipengaruhi oleh berbagai kombinasi faktor domestik maupun global.

Secara historis, langkah The Fed menaikkan suku bunga biasanya terjadi sebelum resesi, sebagai bagian dari upaya meredam inflasi atau mencegah gelembung aset. Namun ketika indikator ekonomi mulai melemah—seperti turunnya konsumsi, naiknya pengangguran, atau krisis keuangan—The Fed biasanya berbalik arah dengan memangkas suku bunga secara agresif untuk merangsang pertumbuhan dan menjaga likuiditas market. Misalnya, menjelang krisis 2008, The Fed telah menaikkan suku bunga hingga 5,25 persen pada 2006, tapi kemudian menurunkannya drastis hingga mendekati nol saat resesi melanda. Pola serupa juga terjadi pada 2001 dan 2020. Jadi, rate hike sering kali menjadi pemicu tekanan ekonomi, sementara rate cut menjadi respons penyelamatan—meskipun seringkali datang terlambat, saat kerusakan sudah mulai terjadi.

Resesi dan Peluang Investasi Bitcoin

Dalam konteks ini, para investor mulai bersiap-siap, tidak hanya dengan menjual aset-aset berisiko, tetapi juga dengan mulai mencari alternatif yang dapat memberikan perlindungan dan potensi pertumbuhan besar di masa depan. Salah satu aset yang mulai menarik perhatian adalah Bitcoin, yang justru bisa menjadi pilihan utama dan momen besar akumulasi di tengah ancaman resesi.

Resesi ekonomi adalah suatu fenomena yang hampir selalu membawa dampak signifikan terhadap market keuangan global. Ketika perekonomian melambat, banyak sektor berisiko yang mengalami penurunan harga, terutama saham dan komoditas. Namun, ada aset yang tidak hanya bertahan dalam situasi resesi, tetapi juga dapat berkembang dengan pesat, bahkan menjadi pilihan utama bagi para investor yang mencari perlindungan dan potensi keuntungan jangka panjang. 

Salah satu aset tersebut adalah Bitcoin, yang semakin dikenal sebagai alternatif investasi yang menarik. Dalam skenario resesi, Bitcoin berpotensi menjadi pilihan investasi utama dan momen besar untuk melakukan akumulasi, dengan sejumlah faktor yang mendasari proyeksi ini.

Salah satu alasan mengapa Bitcoin bisa menjadi pilihan utama saat resesi adalah sifatnya yang terdesentralisasi dan tidak bergantung secara langsung pada kebijakan moneter negara manapun, seperti emas. Nah, dalam kondisi resesi, biasanya bank sentral akan menurunkan suku bunga untuk merangsang ekonomi dengan besaran cukup signifikan.

Dilansir dari Reuters, Goldman Sachs masih memperkirakan bahwa Federal Reserve akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin dalam tiga pertemuan berturut-turut di tahun 2025 ini. Namun, mereka kini memperkirakan pemangkasan pertama akan dimulai pada bulan Juni, bukan Juli seperti proyeksi sebelumnya.

Sementara itu, J.P. Morgan memperkirakan pemangkasan suku bunga akan terjadi di setiap pertemuan The Fed sepanjang tahun 2025, dimulai pada bulan Juni. Selain itu, mereka juga memperkirakan akan ada satu pemangkasan tambahan pada Januari, yang akan membawa kisaran atas suku bunga acuan menjadi 3 persen. Sebelumnya, J.P. Morgan hanya memperkirakan dua kali pemangkasan suku bunga tahun ini dari level saat ini di kisaran 4,25 persen hingga 4,50 persen.

Di sisi lain, WFII kini memperkirakan akan terjadi tiga kali pemangkasan suku bunga tahun ini, naik dari proyeksi sebelumnya yang hanya satu kali.

Sementara itu, berdasarkan data yang dikumpulkan oleh LSEG, para pelaku market rata-rata memperkirakan akan terjadi pemangkasan suku bunga sebesar total 116 basis poin sepanjang tahun ini. Proyeksi ini mengindikasikan bahwa setidaknya akan ada pemangkasan suku bunga dalam empat dari lima pertemuan Federal Reserve yang tersisa tahun ini.

Suku bunga acuan di Amerika Serikat terakhir tercatat berada pada level 4,50 persen. Menurut Trading Economics, suku bunga tersebut diperkirakan akan turun menjadi 4,25 persen pada akhir kuartal ini. Dalam jangka panjang, berdasarkan proyeksi model ekonometrika mereka, suku bunga acuan Fed Funds Rate di Amerika Serikat diperkirakan akan bergerak di kisaran 3,50 persen pada tahun 2026 dan turun lebih lanjut ke level 3,25 persen pada tahun 2027.

Proyeksi pemangkasan suku bunga lanjutan oleh The Fed pada tahun 2025 ini.

Nah, dalam situasi resesi, sering kali menyebabkan devaluasi mata uang lokal, meningkatkan ketidakpastian, dan bahkan memicu inflasi. Sebaliknya, Bitcoin, sebagai aset yang terbatas pasokannya, memiliki karakteristik yang dapat melawan inflasi. Dalam situasi di mana banyak investor khawatir akan penurunan daya beli uang fiat, Bitcoin menawarkan alternatif yang lebih tahan terhadap gejolak inflasi, karena tidak dapat dipengaruhi oleh kebijakan pencetakan uang yang dilakukan oleh bank sentral.

Ketika krisis ekonomi melanda, investor cenderung mencari aset yang dapat bertahan dalam ketidakpastian dan memiliki potensi apresiasi nilai yang lebih baik dalam jangka panjang. Emas, yang telah lama dianggap sebagai aset safe haven, sering kali menjadi pilihan pertama dalam situasi ini. Dan selama beberapa bulan terakhir terus mencetak rekor.

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Bitcoin mulai dipandang oleh sebagian besar investor sebagai "emas digital". Bitcoin menawarkan sejumlah keunggulan dibandingkan emas, salah satunya adalah kemudahan dalam hal transfer dan penyimpanan yang lebih efisien, mengingat Bitcoin adalah aset digital yang dapat diperdagangkan secara global tanpa batasan geografis. Hal yang sama seperti emas, harga Bitcoin terus mencetak rekor baru, yakni di US$109 ribu pada Januari 2025 berkat adopsi yang semakin meningkat di tingkatan perusahaan hingga negara.

Kenaikan harga Bitcoin dalam 5 tahun terakhir mencapai 1400 persen.

Kenaikan harga emas dalam 5 tahun terakhir mencapai 100 persen, di mana tren naik drastis dimulai menjelang tahun 2023.

Bukan hanya sebagai alternatif dari emas, Bitcoin juga memberikan kesempatan bagi investor untuk melindungi kekayaan mereka dari potensi kebijakan moneter yang tidak pasti. Sebagai contoh, setelah kebijakan pelonggaran kuantitatif yang agresif dilakukan oleh bank sentral di seluruh dunia pasca Krisis Keuangan Global 2008, Bitcoin muncul sebagai respons terhadap masalah ini. Dalam konteks resesi, Bitcoin bisa jadi "momen besar" bagi investor yang ingin mengakumulasi aset dengan harga yang lebih rendah sebelum potensi lonjakan nilai yang lebih tinggi di masa depan.

Penurunan suku bunga juga memiliki dampak langsung pada market saham dan instrumen keuangan tradisional lainnya. Banyak investor yang mencari imbal hasil lebih tinggi dengan beralih dari obligasi dan saham ke aset-aset yang lebih berisiko. Meskipun banyak aset berisiko cenderung jatuh selama resesi, Bitcoin justru dapat menonjol sebagai pilihan investasi yang menarik. 

Selama resesi, secara historis banyak perusahaan dan individu yang berusaha mengurangi ketergantungan mereka pada sistem keuangan tradisional. Hal ini mendorong peningkatan minat terhadap Bitcoin, yang tidak terikat pada lembaga keuangan tradisional seperti bank atau perusahaan. Ketika ketidakpastian ekonomi melanda, banyak yang beralih ke Bitcoin untuk mendapatkan diversifikasi dalam portofolio mereka dan untuk mencari peluang baru dalam market yang sedang bergejolak.

Faktor penting lainnya yang mendukung proyeksi Bitcoin sebagai aset yang menarik saat resesi adalah sifatnya yang bisa menjadi cadangan nilai dalam perekonomian digital. Di era yang semakin terkoneksi dengan teknologi, Bitcoin menjadi salah satu instrumen keuangan yang dipilih oleh generasi muda, yang semakin percaya pada kemampuannya untuk menyimpan dan mentransfer nilai secara digital. 

Dalam situasi di mana mata uang fiat terdepresiasi dan market saham turun tajam, permintaan terhadap Bitcoin kemungkinan akan meningkat, karena investor yang cerdas akan mencari aset dengan ketahanan terhadap inflasi dan ketidakpastian.

Tidak hanya individu yang tertarik pada Bitcoin selama resesi, tetapi juga institusi besar yang mulai memperhatikan potensi besar dari Bitcoin sebagai penyimpan nilai dan aset investasi. Banyak perusahaan besar yang telah mulai mengalokasikan sebagian dari cadangan kas mereka ke dalam Bitcoin, melihatnya sebagai aset yang dapat menambah diversifikasi portofolio mereka. Institusi besar, termasuk perusahaan seperti Strategy (dulu dikenal dengan MicroStrategy), Tesla, dan MetaPlanet telah membuat keputusan strategis untuk menambahkan Bitcoin ke dalam neraca mereka. Ini memberikan legitimasi lebih kepada Bitcoin sebagai kelas aset yang sah, yang dapat diterima oleh investor institusional dan individu. Dalam situasi resesi, di mana banyak investor mencari alternatif yang dapat memberikan hasil yang lebih baik daripada aset tradisional, Bitcoin menjadi pilihan yang semakin menarik.

Seiring dengan meningkatnya adopsi institusional dan pencarian alternatif investasi, Bitcoin juga mengalami peningkatan dalam hal likuiditas. Ini menjadikannya lebih mudah untuk dibeli dan dijual, bahkan dalam periode volatilitas market yang tinggi. Ketika banyak aset berisiko lainnya kehilangan daya tarik mereka karena kekhawatiran tentang kinerja ekonomi, Bitcoin tetap menjadi salah satu aset dengan potensi untuk terus berkembang. Semakin banyak orang yang memahami dan menggunakan Bitcoin, semakin besar potensi pertumbuhannya dalam jangka panjang.

Namun, meskipun Bitcoin menawarkan peluang besar di tengah resesi, penting untuk diingat bahwa seperti halnya aset berisiko lainnya, Bitcoin juga memiliki tingkat volatilitas yang tinggi. Harga Bitcoin bisa sangat fluktuatif dalam jangka pendek, dan meskipun ada banyak alasan untuk percaya bahwa Bitcoin dapat menjadi aset yang lebih aman dalam jangka panjang, investor harus siap dengan potensi risiko yang terkait dengan investasi ini.

Secara keseluruhan, resesi dapat menjadi momen besar bagi akumulasi Bitcoin bagi para investor yang cerdas. Dalam situasi di mana ketidakpastian ekonomi mendominasi, dan market saham serta aset tradisional lainnya mengalami penurunan, Bitcoin menawarkan alternatif yang unik dan berpotensi menguntungkan. Dengan adopsi yang semakin meningkat dan pengakuan dari investor institusional, Bitcoin bisa menjadi aset yang bertahan dalam ketidakpastian dan bahkan berkembang di tengah resesi. Namun, seperti halnya dengan semua investasi, penting untuk melakukan analisis yang hati-hati dan memastikan bahwa portofolio investasi Anda tetap terdiversifikasi dengan baik.

Sebelumnya
Memproyeksikan Masa Depan Web3
Selanjutnya
Memahami Crypto Fear and Greed Index untuk Strategi Beli dan Jual yang Lebih Cerdas