Diskusi mengenai hubungan antara tren global M2 dan harga Bitcoin (BTC) belakangan ini semakin ramai. Apakah data pasokan uang fiat global dapat menjadi indikator penting untuk memprediksi harga kripto terbesar ini?
Kalau kamu sering mengikuti perkembangan Bitcoin (BTC), mungkin kamu pernah dengar istilah “likuiditas global” atau bahkan “global M2”. Kedengarannya teknis banget, ya? Tapi sebenarnya, ini adalah salah satu kunci buat memahami kenapa harga Bitcoin bisa naik gila-gilaan atau tiba-tiba turun drastis. Global M2 bukan cuma angka soal berapa banyak uang (fiat money) yang beredar di dunia, tapi juga semacam termometer buat ngukur seberapa panas atau dingin suhu keuangan global.
Jadi, yuk kita kupas satu per satu. Apa sih sebenarnya M2 itu? Kenapa versi globalnya penting banget? Dan yang paling menarik, gimana sih pengaruhnya ke Bitcoin yang kamu pantau terus tiap hari?
Apa Itu M2 dan Global M2?
M2 adalah istilah untuk ukuran jumlah uang yang beredar (money supply), mulai dari uang tunai, saldo di rekening tabungan, hingga deposito jangka pendek. Bisa dibilang, M2 ini menggambarkan total likuiditas yang tersedia di suatu negara. Bayangin kayak dompet gabungan semua orang plus rekening mereka. Semuanya dihitung jadi satu.
Tapi kenapa disebut likuiditas? M2 menggambarkan seberapa mudah uang bisa berpindah tangan dalam perekonomian, baik untuk konsumsi, investasi, atau sekadar disimpan sementara waktu. Bayangin saja seperti air yang mengalir: semakin banyak airnya dan makin gampang mengalir, maka semakin likuid sistemnya.
Uang tunai dan saldo rekening yang bisa langsung ditarik itu ibarat air yang langsung bisa dipakai untuk menyiram tanaman, cepat, praktis, tanpa hambatan. Sementara simpanan berjangka atau tabungan itu seperti air yang masih di tangki, bisa dipakai kapan pun, tapi perlu sedikit usaha buat mengalirkannya.
Nah, M2 mencakup semua itu, dari air yang ngalir deras sampai yang masih di wadah tapi tetap bisa dipakai dengan mudah. Karena uang dalam M2 bisa segera dikonversi jadi konsumsi atau investasi, makanya disebut sebagai representasi dari likuiditas. Makin tinggi M2-nya, artinya makin banyak 'bahan bakar' ekonomi yang siap digunakan, dan makin besar pula potensinya untuk menggerakkan harga aset, termasuk Bitcoin.
Jadi, ketika kamu dengar istilah "likuiditas meningkat", itu berarti uang gampang berpindah, dan market biasanya langsung bereaksi.
Nah, kembali ke pemahaman M2 itu. Kenapa ini penting? Karena kalau jumlah uang yang tersedia semakin banyak, berarti orang dan perusahaan bisa belanja lebih, investasi lebih, dan spekulasi lebih juga. M2 ini posisinya ada di tengah-tengah antara M1 (uang tunai banget) dan M3 (uang yang lebih kompleks, seperti obligasi dan aset jangka panjang lainnya). Jadi, M2 dianggap pas banget untuk ngelihat kesehatan likuiditas sebuah ekonomi.
Nah, karena saat ini kita hidup di dunia yang terhubung dan ekonomi satu negara bisa ngefek ke negara lain, sekarang orang juga ngelihat global M2—gabungan M2 dari negara-negara besar seperti AS (dolar AS), Jepang (yen), Uni Eropa (euro), dan Tiongkok (yuan). Ini semacam total cadangan uang fiat dunia, dan punya pengaruh besar ke segala jenis investasi, termasuk Bitcoin.
Gambar di bawah adalah tren naik global M2 (dalam hal ini AS, Uni Eropa, Jepang, dan Tiongkok) sejak tahun 2005 hingga saat ini (April 2025). Ini sekaligus mencerminkan penurunan daya beli uang fiat dalam kaitannya dengan inflasi alias kenaikan harga barang dan jasa. Data per 17 April 2025, global M2 mencapai US$92,891 triliun. Bandingkan dengan tahun 2005 sebesar US$21 triliun. Kamu bisa lihat tren itu secara langsung dari situs ini.

Sejarah Global M2, dari Krisis ke Kripto
Sejak krisis keuangan global 2008, bank sentral di berbagai negara mulai nyetak uang dalam jumlah besar. Tujuannya buat nyelamatin ekonomi dari kehancuran. Makin banyak uang yang disuntikkan ke sistem, makin gede juga M2-nya. Hal serupa kejadian lagi pas pandemi COVID-19 tahun 2020. Ekonomi nyaris lumpuh, dan bank sentral panik: cetak uang lagi!
Akibatnya, global M2 melonjak tinggi banget. Semua uang itu nggak cuma dipakai buat belanja kebutuhan pokok atau investasi lokal, tapi juga melintasi batas negara, masuk ke market saham, properti, bahkan ke dunia kripto. Termasuk Bitcoin.
Nah, ketika uang fiat (uang biasa yang diterbitkan oleh negara) semakin banyak, nilainya bisa turun karena inflasi. Orang jadi nyari tempat lebih aman dan terbatas buat simpan nilai. Dulu emas jadi pilihan utama, tapi sejak 2020-an, Bitcoin mulai dilirik banget karena sifatnya yang mirip-mirip: terbatas, nggak bisa dicetak semaunya, dan bisa diakses siapa pun.
Makin Banyak Uang, Makin Tinggi Harga Bitcoin?
Kalau kamu lihat grafik global M2 dan harga Bitcoin, ada pola menarik. Ketika M2 global naik tajam, harga Bitcoin sering ikut meroket. Misalnya, antara awal 2020 hingga pertengahan 2021, global M2 meningkat lebih dari 20%, dan harga Bitcoin juga naik drastis dari sekitar US$7.000 menjadi lebih dari US$60.000. Ini bukan kebetulan semata.
Tapi perlu diingat, hubungan ini nggak selalu lurus dalam jangka pendek. Ketika bank sentral mulai ngerem, misalnya dengan naikin suku bunga dan menarik kembali likuiditas, dampaknya juga terasa ke Bitcoin. Tahun 2022 contohnya. Saat The Fed dan ECB mulai mengetatkan pasokan uang, harga Bitcoin pun ikutan amblas. Jadi, kamu harus melihat relevansi itu dalam jangka panjang, di mana pasokan uang global itu meningkat sama dengan tren kenaikan harga BTC.
Gambar di bawah ini menjelaskan relevansi kenaikan global M2 (dalam hal ini data dari bank 21 bank sentral) dengan kenaikan harga Bitcoin sejak 2013.

Grafik pertumbuhan suplai uang global (M2) menunjukkan bagaimana pertumbuhan suplai uang dari 21 bank sentral utama dibandingkan dengan harga Bitcoin dan membandingkannya dengan data dari tahun lalu.
Massa moneter atau likuiditas global mencakup uang tunai, deposito cek, tabungan, akun market, dana, dan deposito yang kurang dari US$100.000.
Jika likuiditas global meningkat, itu berarti bank-bank sentral besar sedang menyediakan lebih banyak uang untuk negara mereka. Caranya bisa dengan menurunkan suku bunga atau membeli obligasi pemerintah dan sekuritas lainnya untuk menambah suplai uang.
Kalau kita bandingkan harga BTC dengan tingkat pertumbuhan M2 dari bank-bank sentral besar (seperti FED, ECB, PBoC, BoJ, dan lainnya), kita akan melihat bahwa pergerakan Bitcoin seringkali mengikuti pola yang sama dengan pertumbuhan suplai uang M2. Secara historis, market bullish Bitcoin sering bertepatan dengan ekspansi likuiditas global.
Global M2 Ibarat Waduk Raksasa
Supaya gampang dipahami, bayangin likuiditas global M2 itu seperti waduk air raksasa. Ketika hujan deras (alias pelonggaran moneter), air di waduk makin tinggi. Pintu air dibuka, dan aliran air ngalir ke berbagai arah: ke properti, saham, konsumsi, sampai kripto. Bitcoin, yang dulunya kayak sungai kecil di pinggir hutan, tiba-tiba dapat aliran deras dan jadi sungai besar.
Tapi kalau bendungan mulai ditutup (karena takut banjir/inflasi), debit air ke semua sungai itu juga berkurang. Sungai Bitcoin pun ngalami penurunan debit alias harga turun. Analogi ini menggambarkan betapa pentingnya posisi Bitcoin dalam ekosistem keuangan global. Ia bukan cuma aset spekulatif, tetapi bagian dari arus besar uang dunia.
Bitcoin Jadi Barometer Baru Kebijakan Moneter?
Yang semakin menarik, sekarang banyak analis mulai melihat Bitcoin bukan cuma sebagai respons dari global M2, tapi juga sebagai indikator awal arah kebijakan moneter. Maksudnya, harga Bitcoin bisa naik duluan begitu ada sinyal-sinyal pelonggaran dari bank sentral—bahkan sebelum M2 benar-benar naik di data resmi.
Kalau kamu perhatikan, market Bitcoin sering banget front-run kebijakan. Misalnya, begitu muncul desas-desus bahwa The Fed bakal berhenti naikin suku bunga, harga Bitcoin udah duluan naik. Karena pelaku market kripto itu cenderung reaktif dan berani ambil risiko, mereka sering jadi yang pertama merespons perubahan arah likuiditas. Inilah yang terjadi sejak pertengahan tahun 2024 lalu dan menghantarkan market kripto dan harga BTC naik gilaan-gilaan dan berpuncak lokal di US$109 ribu pada Januari 2025.
Kalau pola ini terus berulang di masa depan, bisa jadi Bitcoin bakal makin dilihat sebagai barometer keuangan global. Ia nggak cuma jadi alternatif simpanan nilai atau alat tukar digital, tapi juga sebagai indikator arah uang dunia mengalir.
Jadi, kalau kamu ingin lebih paham pergerakan Bitcoin, jangan cuma lihat chart atau sentimen media sosial dalam jangka pendek. Coba lihat juga ke data global M2. Lihat bagaimana kebijakan bank sentral, jumlah uang yang beredar, dan tingkat inflasi bisa memengaruhi harga.
Bitcoin tumbuh di tengah kerapuhan sistem fiat, dan makin lama makin dianggap sebagai bentuk perlindungan terhadap pelemahan nilai uang konvensional. Dan dengan jumlahnya yang terbatas, Bitcoin jadi salah satu tujuan utama ketika uang fiat kebanjiran pasokan.
Di era keuangan global yang makin cair dan cepat berubah, paham soal likuiditas global M2 bisa jadi senjata penting buat kamu—baik sebagai trader, investor, atau sekadar pengamat dunia kripto. Karena pada akhirnya, di balik candle dan chart, ada arus uang besar yang ngatur arah permainan. Dan Bitcoin, bisa jadi adalah papan seluncur terbaik buat menaklukkan gelombang itu.