Beli Kripto
Market
Perdagangan
Futures
Finansial
Promosi
Selengkapnya
Pusat Hadiah
Masuk
Beranda Crypto Bakal Booming Besar Gegara Negara Ramai Pangkas Suku Bunga?
Pembaruan Industri

Crypto Bakal Booming Besar Gegara Negara Ramai Pangkas Suku Bunga?

2025-06-12 11:08:00

Semakin banyak negara yang melonggarkan kebijakan keuangan mereka dengan melakukan pemangkasan suku bunga. Apakah ini mampu membuat crypto menjadi booming besar di tahun 2025? Dunia pun menanti keputusan dari The Fed dan Bank of England yang diprediksi akan segera memangkas suku bunga pada 2025 ini.

Dalam beberapa bulan terakhir, dunia menyaksikan pergeseran besar dalam kebijakan moneter global. Setelah dua tahun era suku bunga tinggi yang dimaksudkan untuk menekan inflasi, kini negara-negara besar mulai berbalik arah. 

Kanada, Inggris, dan Uni Eropa telah menurunkan suku bunga acuan dan diperkirakan akan berlanjut pada 2025 dan 2026. Tiongkok pun terus melonggarkan kebijakan moneternya melalui pemangkasan Loan Prime Rate (LPR) dan reverse repo. 

Australia sendiri mengikuti dengan serangkaian pemotongan, sementara Amerika Serikat diperkirakan akan menurunkan suku bunganya pada kuartal ketiga 2025. Lalu, apa artinya semua ini bagi pasar saham dan crypto? Apakah pasar crypto global bakal booming karena kebijakan uang fiat itu?

Likuiditas Kembali Mengalir

Ketika bank sentral memangkas suku bunga, biaya pinjaman di bank khususnya, menjadi lebih murah. Hal ini mendorong perusahaan untuk berinvestasi dan individu untuk mengalihkan dananya ke aset berisiko demi imbal hasil lebih tinggi. Dalam kondisi seperti ini, investor mulai pelan-pelan keluar dari instrumen konservatif seperti obligasi dan deposito, dan masuk ke saham, aset digital seperti crypto, dan properti.

Pasar saham biasanya menjadi salah satu yang akan mendapatkan impak positif paling awal. Saham-saham pertumbuhan (growth stocks), terutama di sektor teknologi dan inovasi, umumnya sangat responsif terhadap penurunan suku bunga secara historis. Hal yang sama berlaku di pasar crypto: Bitcoin, Ethereum, dan altcoin besar sering mengalami lonjakan harga saat likuiditas (jumlah uang fiat yang beredar) membanjiri sistem keuangan global.

Ringkasnya di sini, semakin banyak jumlah uang fiat yang beredar adalah sinyal kuat bahwa ekonomi belum baik-baik saja, khususnya jika dikaitkan dengan dampak ekonomi akibat pandemi lalu. Namun, apakah saat ini benar demikian, bahwa likuditas uang fiat sudah cukup besar?

Daftar Negara Pangkas Suku Bunga, Siapa yang Akan Menyusul?

Pada pertengahan tahun 2025, lanskap kebijakan moneter global menunjukkan dinamika yang sangat beragam. Beberapa negara maju telah mengambil langkah pemangkasan suku bunga sebagai respons terhadap tekanan ekonomi domestik dan global, sementara lainnya masih mempertahankan suku bunga tinggi karena inflasi yang membandel. Kebijakan ini bukan hanya mencerminkan kondisi makroekonomi masing-masing negara, tetapi juga mencerminkan tekanan geopolitik dan ketegangan perdagangan yang memengaruhi arah pasar global secara keseluruhan.

Negara-Negara yang Sudah Memangkas Suku Bunga

Tiga negara utama yang telah lebih dulu menurunkan suku bunganya adalah Uni Eropa (melalui European Central Bank/ECB), Swiss (SNB), dan Australia (RBA). ECB menurunkan suku bunga deposit facility sebesar 25 basis poin menjadi 2 persen pada 5 Juni 2025. Kebijakan ini diambil karena tingkat inflasi telah turun ke target jangka menengah bank sentral sebesar 2 persen. Penurunan harga energi dan penguatan euro menjadi faktor utama penurunan inflasi tersebut, dengan proyeksi pertumbuhan ekonomi Uni Eropa hanya sekitar 0,9 persen tahun ini. ECB membuka peluang untuk pemangkasan suku bunga lanjutan jika ketegangan dagang dengan AS meningkat.

Swiss National Bank juga memangkas suku bunganya sebesar 25 basis poin menjadi 0,25 persen pada Maret 2025, setelah inflasi memasuki zona negatif untuk pertama kalinya sejak 2021. SNB bahkan mempertimbangkan penurunan lebih lanjut hingga ke level nol atau bahkan negatif jika franc Swiss terus menguat akibat perannya sebagai mata uang safe haven di tengah ketidakpastian global.

Di belahan selatan, Reserve Bank of Australia menurunkan suku bunga sebesar 25 basis poin menjadi 3,85 persen pada Mei 2025, setelah inflasi inti menunjukkan pelemahan. Pasar memperkirakan RBA akan kembali memangkas suku bunga dua kali lagi hingga awal 2026 sebagai respons terhadap kondisi ekonomi domestik yang lemah.

Di Asia, Tiongkok melalui People's Bank of China juga memangkas suku bunga acuan satu tahunnya (Loan Prime Rate) menjadi 3 persen, terendah dalam sejarahnya—untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tertekan oleh ketegangan dagang dengan Amerika Serikat. Namun, berbeda dari negara-negara lain, Tiongkok menolak menggunakan quantitative easing secara luas dan lebih memilih pendekatan stimulus yang terarah dan terkoordinasi dengan kebijakan fiskal.

Negara-Negara yang Masih Menahan Suku Bunga

Amerika Serikat melalui Federal Reserve mempertahankan suku bunga acuannya di kisaran 4,25 hingga 4,5 persen sepanjang semester pertama 2025. Meskipun inflasi telah turun menjadi 2,4 persen, pasar tenaga kerja yang masih kuat dan kekhawatiran inflasi yang belum sepenuhnya jinak membuat The Fed berhati-hati. Ekspektasi pasar menunjukkan kemungkinan satu hingga dua pemangkasan suku bunga pada kuartal ketiga, namun tidak lebih cepat dari bulan September.

Bank of Canada juga mengambil sikap serupa, menahan suku bunga overnight di 2,75 persen. Meskipun pertumbuhan ekonomi sedikit lebih kuat dari ekspektasi, kekhawatiran atas kebijakan tarif dari Amerika Serikat dan data inflasi yang masih tinggi menjadi alasan kehati-hatian BoC. Keputusan selanjutnya dijadwalkan pada 30 Juli 2025.

Sementara itu, Bank of England masih menghadapi dilema antara inflasi yang tinggi (3,5 persen) dan pelemahan pasar tenaga kerja. Pada pertemuan terakhir, lima dari delapan anggota dewan memilih pemangkasan suku bunga, namun sisanya menolak. BoE diperkirakan baru akan memangkas suku bunga pada bulan Agustus dan Desember, tergantung pada dinamika inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Bank of Japan mengambil pendekatan yang berbeda. Setelah hampir dua dekade menerapkan kebijakan suku bunga ultra-rendah dan quantitative easing besar-besaran, BoJ mulai menaikkan suku bunga pada awal 2025 ke level 0,5 persen. Kebijakan ini dipertahankan sampai saat ini karena inflasi domestik yang cukup tinggi dan niat untuk perlahan menormalkan kebijakan moneternya.

Tabel di bawah adalah daftar negara-negara dengan kebijakan suku bunganya saat ini dan harapan pasar tentang langkah berikutnya hingga akhir 2025.

Negara-Negara yang Diprediksi Akan Menyusul Memangkas Suku Bunga

Melihat perkembangan terakhir, Bank of England dan Federal Reserve menjadi kandidat kuat untuk menyusul dalam melakukan pemangkasan suku bunga di paruh kedua 2025. Di Inggris, meskipun inflasi masih tinggi, tekanan pada pertumbuhan ekonomi memberi sinyal bahwa BoE kemungkinan besar akan memangkas suku bunga dua kali tahun ini. Di AS, pasar memperkirakan pemangkasan mulai September 2025 jika data ekonomi mendukung.

Bank of Canada juga diperkirakan akan menyusul jika ketegangan dagang dengan AS terus meningkat dan menekan ekspor serta investasi domestik. Swiss National Bank bahkan mungkin menjadi bank sentral besar pertama yang kembali ke era suku bunga negatif, tergantung dinamika nilai tukar dan inflasi domestik.

Australia kemungkinan akan menurunkan suku bunga dua kali lagi, sementara Tiongkok akan melanjutkan stimulus moneter terarah. Sementara itu, Jepang lebih mungkin menaikkan suku bunga lagi secara hati-hati daripada melakukan pemangkasan dalam waktu dekat.

Peta kebijakan moneter global pada 2025 menggambarkan kondisi yang terpecah. Sementara beberapa negara telah memulai pelonggaran suku bunga untuk merespons pelemahan ekonomi dan tekanan disinflasi, negara lain masih dibatasi oleh inflasi yang membandel dan ketidakpastian eksternal, seperti tarif perdagangan AS. Perbedaan ini menciptakan lintasan kebijakan moneter yang tidak seragam, memperumit prediksi arah pasar keuangan global ke depan.

Namun demikian, gelombang pemangkasan suku bunga kemungkinan akan meluas dalam beberapa bulan mendatang, tergantung pada data inflasi dan pertumbuhan. Dalam lanskap seperti ini, pasar lebih cenderung mengalami relief rally ketimbang mega bull run yang didorong oleh fundamental kuat, karena pengaruh pengetatan kuantitatif (QT) masih membayangi efek dari pelonggaran suku bunga.

QE adalah Kata Kunci

Jika pemangkasan suku bunga disertai dengan program pelonggaran kuantitatif (quantitative easing/QE), efeknya bisa berlipat. QE berarti bank sentral membeli aset seperti obligasi pemerintah, yang menciptakan uang baru dan mendorong suku bunga jangka panjang lebih rendah. Ini menciptakan efek kekayaan (wealth effect) dan meningkatkan kepercayaan pasar.

Pasar crypto, yang selama ini dianggap sebagai "aset likuiditas tinggi", mendapat dorongan besar dari QE. Saat The Fed menggelar QE di tahun 2020–2021, Bitcoin melonjak dari US$3.000 ke atas US$60.000 dalam waktu kurang dari dua tahun. Jika skenario serupa terulang dengan kombinasi suku bunga rendah dan QE, kemungkinan besar crypto akan kembali mengalami reli besar.

Dengan kata lain saat ini, dunia masih dalam era pengetatan kuantitatif (QT), alias uang fiat yang beredar belum cukup dikatakan sangat likuid untuk berkontribusi pada peningkatan aset-aset berisiko.

Pemangkasan suku bunga saat ini hanya memberikan kontribusi kecil terhadap peningkatan likuiditas uang fiat, karena masih berlangsungnya kebijakan Quantitative Tightening (QT) oleh sebagian besar bank sentral utama di dunia.

Secara teori, penurunan suku bunga seharusnya memperbesar jumlah uang yang beredar. Dengan biaya pinjaman yang lebih murah, baik sektor rumah tangga maupun bisnis seharusnya terdorong untuk meningkatkan konsumsi dan investasi. Namun dalam kenyataan di tahun 2025, efek pelonggaran suku bunga terhadap ekspansi likuiditas menjadi sangat terbatas karena bank sentral secara bersamaan justru menyedot kembali uang dari sistem melalui penyusutan neraca mereka, sebuah proses yang disebut QT.

Quantitative Tightening merupakan kebalikan dari Quantitative Easing (QE). Jika QE menciptakan uang fiat baru melalui pembelian aset oleh bank sentral, maka QT menarik uang tersebut kembali dari sirkulasi dengan membiarkan obligasi jatuh tempo tanpa diperpanjang, atau bahkan menjualnya kembali ke pasar. Hal inilah yang dilakukan oleh Federal Reserve, European Central Bank, Bank of England, dan sejumlah bank sentral lainnya. The Fed, misalnya, telah menyusutkan neracanya sebesar lebih dari US$2 triliun sejak puncaknya pada tahun 2022. Artinya, likuiditas dalam jumlah yang sangat besar sedang ditarik keluar dari sistem keuangan, mengurangi jumlah uang fiat yang tersedia.

Di sisi lain, meskipun suku bunga diturunkan, sistem perbankan masih menunjukkan kehati-hatian dalam menyalurkan kredit. Permintaan kredit juga belum sepenuhnya pulih karena ketidakpastian global yang masih tinggi membuat rumah tangga dan perusahaan menunda keputusan pinjaman besar. Ini menunjukkan bahwa menurunkan harga uang (melalui suku bunga) tidak serta-merta menciptakan uang baru, berbeda dengan QE yang secara langsung menyuntikkan likuiditas.

Secara analogi, pelonggaran suku bunga dapat diibaratkan sebagai menurunkan pedal gas pada kendaraan agar laju ekonomi meningkat. Namun, jika pada saat yang sama rem tangan ditarik melalui QT, maka efek dorong dari pelonggaran itu menjadi sangat terbatas. Kebijakan suku bunga dan kebijakan neraca bank sentral saat ini berjalan tidak searah, dan dampaknya saling menetralkan. Inilah alasan mengapa pasar keuangan kini tidak merespons pemangkasan suku bunga dengan euforia seperti pada masa lalu, karena tanpa kehadiran kembali QE atau suntikan likuiditas besar-besaran, tekanan pada sistem keuangan tetap tinggi.

Pemangkasan suku bunga tidak lagi menciptakan efek kekayaan (wealth effect) yang dulu muncul ketika bank sentral membeli aset dalam jumlah besar. Tanpa pembelian besar-besaran atas obligasi atau saham oleh bank sentral, harga aset tidak melonjak seperti sebelumnya, dan tidak ada peningkatan besar dalam cadangan perbankan atau suplai uang fiat. Dengan demikian, meskipun suku bunga menjadi lebih rendah, jumlah uang beredar secara total belum tentu meningkat—dan dalam banyak kasus, justru menurun akibat QT.

Secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa dunia saat ini masih berada dalam fase penyusutan likuiditas. Pemangkasan suku bunga yang dilakukan oleh beberapa bank sentral memang memberi sinyal pelonggaran, namun kontribusinya terhadap peningkatan jumlah uang fiat sangat kecil selama kebijakan QT tetap berlangsung. Dengan kata lain, uang menjadi lebih murah, tetapi belum tentu lebih banyak. Untuk benar-benar mendorong ekspansi likuiditas seperti di era pasca-krisis 2008 atau selama pandemi 2020, dibutuhkan kembalinya QE atau inovasi moneter baru yang setara dalam skala dan dampak, untuk menyebut bahwa saat ini kita sedikit lagi memasuki era crypto booming.

Tabel di bawah menerakan bahwa sejumlah negara saat ini masih dalam status QT, belum QE seperti yang terjadi pada 2008 dan 2020-2021. Tapi, bukan bermakna ini membatasi lonjakan harga BTC mencetak rekor baru. Mungkin rentang waktunya tak secepat di masa lalu, tetapi dengan waktu yang sangat panjang dan relatif stabil.

Risiko Tetap Ada

Melihat situasi itu, bahwa belum ada tanda-tanda kuat adanya QE, maka risiko pada besar. Jadi, meski outlook-nya bullish, risiko tetap mengintai. Pemangkasan suku bunga dilakukan karena perlambatan ekonomi dan menurunnya tekanan inflasi. Artinya, ada kekhawatiran terhadap pertumbuhan global. Jika pemangkasan itu kelak gagal merangsang aktivitas ekonomi, pasar bisa kehilangan momentum. Untuk crypto, regulasi yang ketat, sentimen geopolitik, atau crash mendadak di stablecoin bisa menjadi penghambat besar.

Dengan kata lain, apresiasi pasar crypto sejak menjelang pertengahan tahun 2025 sedikit banyak disumbang oleh kebijakan pemangkasan suku bunga oleh banyak negara. Namun, tingkat likuditasnya masih terbatas untuk menyamakan dengan bull run 2021 yang saat itu diwarnai dengan ekspansi likuiditas.

Jika tingkat likuiditas pasar ini masih sangat terbatas seperti saat sekarang ini, maka sentimen pasar bisa berubah sedikit positif dan saling memantau situasi pasar. Yang pasti, jika mengacu pada siklus historis Bitcoin Halving, pasar cenderung melakukan aksi jual menjelang akhir 2025 ini. Penjelasan rinci soal ini dapat dibaca di artikel ini.

Ringkasnya, pemangkasan suku bunga oleh sejumlah negara besar pada 2025 memberikan harapan akan meningkatnya likuiditas global dan mendorong minat terhadap aset berisiko seperti crypto, namun kenyataannya belum cukup kuat untuk menciptakan crypto booming seperti era 2020–2021. Ini disebabkan oleh masih berlangsungnya kebijakan quantitative tightening (QT) oleh banyak bank sentral yang menyedot kembali uang dari sistem keuangan. Meskipun suku bunga lebih rendah menjadikan uang lebih murah, likuiditas belum bertambah secara signifikan karena absennya pelonggaran kuantitatif (QE). Oleh karena itu, meskipun ada sentimen positif dan potensi apresiasi harga, risiko tetap tinggi dan lonjakan besar di pasar kripto masih menunggu pemicu likuiditas yang lebih kuat seperti kebijakan QE baru. 

Tapi ini bukan untuk mengatakan bahwa harga Bitcoin misalnya menjadi tak mampu mencetak rekor baru, karena narasi utama yang dibangun sejak awal, bahwa nilai uang fiat sejatinya akan terus mengalami penurunan nilai sebagai akibat dari gagalnya negara dalam menerapkan kebijakan ekonomi mereka. Dan ini mudah ditafsirkan, ini akan memberikan manfaat serupa terhadap kripto-kripto lain dalam konteks industri Web3.

Sebelumnya
Acara Cashback Deposit CoinEx x Tari XTM: Hadiah 500.000 XTM
Selanjutnya
Pro & Kontra CoinEx: Ulasan Seimbang dengan Wawasan KOL & Keunggulan Strategis