Dalam dunia ekonomi, langkah bank sentral seperti Federal Reserve (The Fed) sangat menentukan arah pasar. Saat ini, perhatian dunia tertuju pada potensi terjadinya resesi di Amerika Serikat pada tahun 2025, serta kemungkinan The Fed memangkas suku bunga sebagai respons. Mengapa hal ini penting? Karena keputusan tersebut bisa menjadi angin segar bagi investor saham dan aset kripto. Tapi sebelum membahas lebih jauh, mari kita pahami dulu apa yang sebenarnya sedang terjadi.
Apakah Amerika Sedang Menuju Resesi?
Pertanyaan ini muncul setelah data resmi menunjukkan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) riil AS menyusut sebesar 0,3 persen pada kuartal pertama 2025. Ini adalah sinyal awal yang kuat. Sebab, jika pada kuartal berikutnya ekonomi kembali mencatat pertumbuhan negatif, maka secara teknikal, AS akan masuk ke dalam resesi.
Namun, penting untuk dicatat bahwa definisi resesi tidak semata-mata berdasar pada dua kuartal berturut-turut yang negatif. Lembaga penentu resesi di AS, yaitu National Bureau of Economic Research (NBER), menilai banyak indikator lain seperti angka pengangguran, pendapatan rumah tangga, produksi industri, dan penjualan ritel. Artinya, resesi teknikal bisa jadi bukan resesi yang “resmi” jika faktor-faktor lain masih cukup kuat.
Menurut survei dari Federal Reserve Bank of Philadelphia, peluang terjadinya pertumbuhan negatif pada kuartal kedua 2025 mencapai 37 persen, meningkat signifikan dari kuartal sebelumnya. Ini menandakan bahwa kekhawatiran pelaku pasar bukan sekadar spekulasi, melainkan berdasar pada data proyeksi yang solid.
Inflasi dan Suku Bunga: Dilema The Fed
Biasanya, jika ekonomi melambat, The Fed akan memangkas suku bunga untuk mendorong pertumbuhan. Suku bunga rendah membuat biaya pinjaman menjadi lebih murah, sehingga perusahaan dan konsumen lebih terdorong untuk membelanjakan dan berinvestasi. Tapi masalahnya, pada saat bersamaan, inflasi juga sedang naik.
Inflasi inti, berdasarkan indeks Personal Consumption Expenditures (PCE), meningkat menjadi 3,5 persen pada kuartal pertama 2025. Kenaikan harga ini membuat The Fed berada dalam posisi sulit. Jika mereka memangkas suku bunga terlalu cepat, bisa jadi inflasi justru akan makin sulit dikendalikan. Ini adalah situasi klasik yang dikenal sebagai “stagflasi”: saat ekonomi melambat tapi harga tetap tinggi.
Berdasarkan proyeksi terkini dari Federal Reserve, mereka masih memperkirakan dua kali pemangkasan suku bunga hingga akhir 2025. Namun, di balik proyeksi tersebut, ada perbedaan pendapat tajam di antara para pembuat kebijakan. Beberapa anggota Federal Open Market Committee (FOMC) bahkan memperkirakan tidak akan ada pemangkasan sama sekali tahun ini, sebagaimana dijelaskan dalam dot plot pertemuan bulan Juni lalu (lihat: Federal Reserve).
Menurut data dari Trading Economics yang diakses pada 21 Juni 2025, tingkat suku bunga acuan di Amerika Serikat saat ini berada di level 4,50 persen. Proyeksi dari model makro global dan ekspektasi analis menunjukkan bahwa suku bunga tersebut kemungkinan akan tetap berada di level ini hingga akhir kuartal. Namun, grafik proyeksi di Trading Economics mengindikasikan adanya tren penurunan: suku bunga diperkirakan akan turun menjadi 4,25 persen pada September 2025, kemudian 4,00 persen pada Desember 2025, dan 3,75 persen pada Maret 2026. Lebih jauh lagi, proyeksi jangka panjang menempatkan suku bunga The Fed di kisaran 3,75 persen pada 2026 dan 3,50 persen pada 2027.

Mengapa Pemangkasan Suku Bunga Bisa Mengangkat Pasar Saham dan Kripto?
Sejarah mencatat bahwa ketika The Fed mulai memangkas suku bunga, pasar saham dan kripto cenderung naik. Alasannya sederhana: bunga rendah berarti likuiditas tinggi, biaya pinjaman lebih murah, dan investor terdorong mencari imbal hasil lebih tinggi. Saham teknologi dan aset spekulatif seperti Bitcoin dan Ethereum biasanya menjadi favorit.
Menurut analisis dari Northern Trust, rata-rata indeks S&P 500 mencatat kenaikan 14,1 persen dalam 12 bulan setelah pemangkasan suku bunga pertama oleh The Fed. Ini juga diamini oleh catatan CoinLedger, yang menunjukkan bahwa harga Bitcoin melonjak selama siklus pelonggaran moneter tahun 2020–2021, saat suku bunga mendekati nol.
Namun, perlu dicatat bahwa pasar tidak hanya merespons arah kebijakan, tapi juga alasan di baliknya. Jika suku bunga dipangkas karena ekonomi sedang jatuh ke jurang resesi yang dalam, maka investor bisa kehilangan kepercayaan dan justru menjual aset mereka. Sebaliknya, jika pemangkasan dilakukan secara antisipatif dan terkontrol, maka sentimen pasar akan lebih positif.
Kilas Balik Sejarah: Pelajaran dari Resesi Sebelumnya
Resesi bukan hal baru dalam sejarah ekonomi AS. Pada periode 1980-1982, The Fed di bawah kepemimpinan Paul Volcker sengaja memicu resesi dengan menaikkan suku bunga hingga 20 persen demi menjinakkan inflasi dua digit. Hasilnya? Inflasi turun, tapi pengangguran melonjak.
Pada 2008, saat krisis keuangan global terjadi, The Fed justru mengambil langkah sebaliknya: memangkas suku bunga hingga mendekati nol dan menjalankan quantitative easing. Ini menjadi awal dari periode panjang pasar bullish.
Yang menarik, pada tahun 2020 saat pandemi COVID-19 melanda, The Fed kembali memangkas suku bunga dengan cepat dalam dua rapat darurat, memicu reli besar-besaran di pasar saham dan kripto. Bitcoin, misalnya, mencatat rekor tertinggi saat itu. Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan kebijakan moneter bisa sangat berbeda tergantung pada karakter krisis yang dihadapi.
Skenario Serupa di Tahun 2025?
Sangat mungkin. Jika PDB kuartal kedua 2025 kembali negatif, sementara inflasi mulai melandai, maka The Fed akan memiliki ruang lebih besar untuk memangkas suku bunga. Menurut proyeksi dari GDPNow milik Federal Reserve Bank of Atlanta, pertumbuhan kuartal kedua masih bisa positif di kisaran 3,4 persen. Tapi proyeksi ini sangat fluktuatif, dan sebagian ekonom tetap menilai bahwa risiko resesi tidak bisa diabaikan (lihat: Atlanta Fed GDPNow).
Kunci penentu nasib suku bunga adalah keseimbangan antara tekanan inflasi dan risiko perlambatan ekonomi. Jika tarif impor menyebabkan kenaikan harga, tapi juga menurunkan permintaan konsumen, maka The Fed akan dihadapkan pada dilema besar.
Dampak pada Investor Pemula
Bagi investor pemula, kabar tentang resesi dan pemangkasan suku bunga seringkali membingungkan. Tapi ada prinsip sederhana: ketika suku bunga turun, uang menjadi “lebih murah”. Ini biasanya mendorong kenaikan harga aset, dari saham hingga kripto. Namun, keputusan investasi tetap harus berbasis pada profil risiko pribadi, bukan hanya tren jangka pendek.
Meminjam komentar dari ahli, setelah mencetak rekor harga baru di US$111.970 pada Mei 2025, analis makro Lyn Alden menilai bahwa reli Bitcoin belum selesai. Menurutnya, keterbatasan suplai, penguatan network effect, serta tekanan fiskal struktural di Amerika Serikat menjadi fondasi jangka panjang yang semakin memperkuat posisinya sebagai aset lindung nilai. Ia mencatat bahwa valuasi Bitcoin masih sangat kecil dibandingkan total aset global, dan dalam kondisi defisit fiskal yang tinggi serta kecenderungan pencetakan uang baru, Bitcoin menjadi alternatif strategis yang tak bisa diabaikan.
Hal lainnya, pasar kripto memang cenderung lebih sensitif terhadap kebijakan moneter. Saat bunga turun, likuiditas mengalir deras, dan banyak investor berani mengambil risiko lebih tinggi. Tapi volatilitas juga lebih tajam. Seperti disebut dalam artikel CoinLedger, harga Bitcoin sempat anjlok 39 persen segera setelah pemangkasan suku bunga tahun 2020, sebelum kemudian bangkit kuat di bulan-bulan berikutnya (CoinLedger).
Untuk saham, sektor teknologi dan properti biasanya paling cepat merespons pemangkasan suku bunga. Namun, pasar bisa saja bereaksi negatif jika langkah The Fed dianggap “terlambat” atau jika resesi terbukti lebih dalam dari yang diperkirakan.
Sampai saat ini, The Fed masih bersikap hati-hati. Mereka telah memangkas suku bunga tiga kali di akhir 2024, namun sejak awal 2025 belum ada perubahan. Ini menunjukkan bahwa meskipun ekonomi menunjukkan tanda-tanda perlambatan, inflasi tetap menjadi perhatian utama.
Maka, jika resesi benar-benar terjadi, besar kemungkinan The Fed akan kembali memangkas suku bunga. Dan jika sejarah menjadi panduan, maka pasar saham dan kripto bisa mendapatkan dorongan positif—asal tidak disertai kepanikan. Seperti biasa, investor yang paling diuntungkan adalah mereka yang memahami konteks, bersabar, dan tidak terjebak euforia jangka pendek.